Minggu, 24 Oktober 2010

ETIKA BISNIS

ETIKA BISNIS

I Teori-Teori Etika

Pengertian Etika

1. Etika berasal dari kata Yunani => ETHOS Adat Istiadat atau kebiasaan

2. Etika erat berkaitan dengan moralitas

3. Berasal dari kata latin => MOS (Mores)

4. Adat istiadat atau kebiasaan => merupakan sistim nilai, bagaiman manusia harus hidup baik

II Teori Etika

a. Etika Dcontologi, berasal dari kata Yunani; Deon = kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Contoh memberikan pelayanan yang baik bertindak secara baik

b. Etika Teologi; menyangkut baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang dicapai. Contoh mencuri pengobatan, secara moral tindakan baik, tapi buruk dilihat sisi hukum dan agama

III Bisnis sebuah Profesi Etis

Apakah bisnis merupakan sebuah profesi etis atau profesi kotor? Bisnis dijalankan secara etis tanpa tipu menipu. Ada 2 etika dalam etika bisnis dalam Etika profesi;

1. Etika Terapan: a.Etika khusus => prinsip atau norma moral dalam bidang kehidupan khususb.Etika lingkungan => hubungan antara manusia baik secara individu maupun kelompok dengan lingkungan alam

2. Etika Profesi: Profesi beda dengan Profesional

III Bisnis dan Etika

a. Bisnis adalah bisnis, tidak dicampur adukan dengan etika

b. Tujuan bisnis untuk mendapatkan profit maksimal

c. Etika ; bisnis harus dilakukan secara baik/ tidak merugikan dan tidak tipu menipu

Sasaran dan ruang lingkup Etika Bisnis :

a. Etika bisnis sebagai profesi nilai-nilai luhur yang terkandung dalah jujur, tanggung jawab dan pelayanan prima

b. Bisnis dewasa ini mempengaruhi kehidupan masyarakat sasaran bisnis tidak menjadi subversif ; kesadaran masyarakat tidak dibodohi atau dirugikan dan diperlakukan tidak adil

c. Membahas mengenai sistem ekonomi yang menentukan etis atau tidaknya suatu praktek bisnis : Etika lebih bersifat Makro; disebut etika Ekonomi karena menyangkut Monopolo, Oligopoli, Kolusi dan praktek lainnya Teori keadilan yang erat kaitannya dengan sistem ekonomi dan sistem pasar

IV Prinsip Etika Bisnis

Beberapa Prinsip Etika Bisnis

a. Prinsip Otonomi : kemampuan untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri

b. Prinsip Kejujuran : mitos yang keliru bahwa bisnis merupakan kegiatan tipu menipu demi meraup keuntungan

c. Prinsip Keadilan : semua orang diperlakukan sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria rasional obyektif dan dapat dipertanggung jawabkan

d. Prinsip Saling Menguntungkan : menjalankan bisnis sehingga menguntungkan satu sama lain

e. Integritas Moral : sebagai tuntutan internal; perusahaan menjaga nama baik

f. Prinsip No Harm : tidak hanya berwujud imbalan moral yang pelaksanaannya diserahkan kepada itikad baik setiap pelaku bisnis

Etos Bisnis : kebiasaan atau budaya moral, Pembudayaan penghayatan nilai-nilai norma atau prinsip moral yang dianggap kekeutan perusahaan

V Etika Utilitarianisme dalam Bisnis

- Utilitarianisme dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832), bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijaksanaan sosial-politik, ekonomi dan legal secara moral

- Kriteria dan Prinsip Etika Utilitarianisme; Manfaat : mendatangkan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Manfaat terbesar : tindakan mendatangkan situasi yang lebih besar dibandingkan dengan tindakan alternatif. Manfaat terbesar yang dilaksanakan untuk suatu kelompok, semua orang

Nilai Positif Etika Utilitarianisme : etika ini tidak memaksakan sesuatu yang asing, tetapi menformulasikan menurut penganutnyadilakukan dalam kehidupan Jalan keluar : Etika Utilitarianisme mempunyai keunggulan, kelemahan dan nilai-nilai Positif, maka dicarikan jalan keluar supaya etika ini masih dipakai termasuk kebijaksanaan agar terhindar kelemahannya

VI Tanggung jawab sosial Perusahaan

Perdebatan muncul : apakah Perusahaan mempunyai tanggung jawab moral dan sosial?

a. Perusahaan berpenampilan manusiawi, lebih etis, ramah, dan memperhatikan kepentingan dari hak-hak pihak lain

b. 3 syarat tanggung jawab perusahaan:

1. Tindakan sesuatu dilakukan dengan sadar

2. Kebebasan dalam melakukan tindakan secara bebas

3. Bagi yang melakukan memang melakukan dengan sendirinya

Status Perusahaan Perusahaan Badan Hukum : dibentuk berdasarkan hukum dan disahkan aturan yang legal,contoh: hak milik pribadi, hak paten, merk dsb

Nama : Katherine. F.G

Kelas : 4EA10

Dosen : Ashur Harmadi

Rabu, 20 Oktober 2010

ETIKA DUNIA USAHA ATAU ETIKA BISNIS DALAM PEMBANGUNAN

Berbicara mengenai etika dunia usaha atau etika bisnis dalam pembangunan, tidak terlepas dari pembahasan kita mengenai perilaku (stake holders-nya), yaitu pelaku ekonomi dan bisnis, pemerintah, dan masyarakat dengan nilai-nilai dalam dunia usaha, kemajemukannya, serta kelembagaannya. Ketiga hal inilah, dikait kan dengan upaya -upaya pembangunan nasional kita, yang ingin saya kemukakan sebagai lemparan pertama kepada LSPEU Indonesia, untuk kelak dapat lebih dikembangkan baik sebagai bahan diskusi, pemikiran teoritis, maupun saran masukan untuk terus digagas antar pelaku ekonomi, pemerintah, dan masyarakat dalam berbagai aspeknya.

Masalah etika bisnis atau etika usaha akhir-akhir ini semakin banyak dibicarakan bukan hanya di tanah air kita, tetapi juga di negara-negara lain termasuk di negara-negara maju. Perhatian mengenai masalah ini tidak terlepas dari semakin berkembangnya dunia usaha kita sebagai hasil pembangunan selama ini. Peran dunia usaha dalam perekonomian begitu cepatnya, sehingga dalam hal investasi, misalnya, sekarang sudah 3 kali investasi pemerintah. Kegiatan bisnis yang makin merebak baik di dalam maupun di luar negeri, telah menimbulkan tantangan baru, yaitu adanya tuntutan praktek bisnis yang baik, yang etis, yang juga menjadi tuntutan kehidupan bisnis di banyak negara di dunia. Transparansi yang dituntut oleh ekonomi global menuntut pula praktik bisnis yang etis. Dalam ekonomi pasar global, kita hanya bisa survive kalau mampu bersaing. Untuk bersaing harus ada daya saing, yang dihasilkan oleh produktivitas dan efisiensi.

Untuk itu pula, diperlukan etika dalam berusaha, karena praktik berusaha yang tidak etis, dapat mengakibatkan rente ekonomi, mengurangi produktivitas dan mengekang efisiensi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cepat, juga berpengaruh pada masalah etika bisnis. Benteng moral dan etika harus ditegakkan guna mengendalikan kemajuan dan penerapan teknologi ba gi kemanusiaan. Kemajuan teknologi informasi misalnya, akan memudahkan seseorang mengakses privacy orang lain.

Dunia etika adalah dunia filsafat, nilai, dan moral. Dunia bisnis adalah dunia keputusan dan tindakan. Etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik dan buruk, sedangkan bisnis adalah konkrit dan harus mewujudkan apa yang telah diputuskan. Hakikat moral adalah tidak merugikan orang lain. Artinya moral senantiasa bersifat positif atau mencari kebaikan. Dengan demikian sikap dan perbuatan dalam konteks etika bisnis yang dilakukan oleh semua yang terlibat, akan menghasilkan sesuatu yang baik atau positif, bagi yang menjalankannya maupun bagi yang lain. Sikap atau perbuatan seperti itu dengan demikian tidak akan menghasilkan situasi “win-lose”, tetapi akan menghasilkan situasi ”win-win”.

Apabila moral adalah nilai yang mendorong seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, maka etika adalah rambu-rambu atau patokan yang ditentukan sendiri oleh pelaku atau kelompoknya. Karena moral bersumber pada budaya masyarakat, maka moral dunia usaha nasional tidak bisa berbeda dengan moral bangsanya. Moral pembangunan haruslah juga menjadi moral bisnis pengusaha Indonesia.

Sebagai suatu Lembaga yang baru berdiri, LSPEU Indonesia tentu tidak terlepas dari berbagai tantangan dan kendala dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensinya. Pada kesempatan ini saya ingin sedikit memberikan sumbangan pemikiran bagi arah kegiatan Lembaga ini dalam melaksanakan fungsi pelayanannya kepada masyarakat luas.

Pertama , menurut hemat saya, inti daripada etika bisnis yang pantas dikembangkan di tanah air kita adalah pengendalian diri, sesuai dengan falsafah Pancasila yang kita miliki. Kita semua menyadari bahwa keuntungan adalah motivasi bisnis. Yang ingin diatur dalam etika bisnis adalah bagaimana memperoleh keuntungan itu. Keuntungan yang dicapai dengan cara yang curang, secara tidak adil, dan bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan martabat kemanusiaaan, tidaklah etis.

Etika bisnis juga “membatasi” besarnya keuntungan, sebatas yang tidak merugikan masyarakatnya. Kewajaran merupakan ukuran yang relatif, tetapi harus senantiasa diupayakan. Etika bisnis bisa mengatur bagaimana keuntungan digunakan. Meskipun keuntungan merupakan hak, tetapi pengunaannya harus pula memperhatikan kebutuhan dan keadaan masyarakat sekitarnya.

Kedua, kepekaan terhadap keadaan dan lingkungan masyarakat. Etika bisnis harus mengandung pula sikap solidaritas sosial. Misalnya, dalam keadaan langka, harga suatu barang dapat ditetapkan sesuka hati oleh mereka yang menguasai sisi penawaran. Disini penghayatan dan kepekaan akan tanggung jawab dan solidaritas sosial harus menjadi rambu-rambu.

Ketiga, mengembangkan suasana persaingan yang sehat. Persaingan adalah “adrenalin”-nya bisnis. Ia menghasilkan dunia usaha yang dinamis dan terus berusaha menghasilkan yang terbaik. Namun persaingan haruslah adil dengan aturan-aturan yang jelas dan berlaku bagi semua orang. Memenangkan persaingan bukan berarti mematikan saingan atau pesaing. Dengan demikian persaingan harus diatur agar selalu ada, dan dilakukan di antara kekuatan-kekuatan yang kurang lebih seimbang.

Keempat, yang besar membantu yang kecil. Praktek bisnis yang etis tidak menghendaki yang besar tumbuh dengan mematikan (at the cost of) yang kecil. Usaha besar dalam proses pertumbuhannya harus pula “membawa-tumbuh” usaha-usaha kecil. Ada hal-hal yang lebih tepat dilakukan oleh usaha skala kecil. Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa usaha besar, menengah, dan kecil harus saling me nunjang, sehingga terbentuk struktur dunia usaha yang kukuh.

Kelima, bisnis tidak boleh hanya memperhatikan masa kini atau kenikmatan saat ini. Sikap “aji mumpung” bertentangan dengan etika bisnis. Dunia usaha harus pula memperhatikan masa depan bangsa dan mewariskan keadaan yang lebih baik bagi generasi yang akan datang. Kesinambungan harus merupakan bagian dari etika bisnis dunia usaha Indonesia. Dalam kaitan ini, lingkungan alam tidak boleh dikorbankan untuk kepentingan jangka pendek atau menarik keuntungan yang sebesar-besarnya. Bisnis yang baik harus selalu memperhatikan keberlanjutan (sustainability ) alam yang mendukungnya.

Keenam, memelihara jatidiri, jiwa kebangsaan dan jiwa patriotik. Kita menyadari bahwa globalisasi ekonomi akan membuat kegiatan bisnis menjadi berkembang tidak mengenal tapal batas. Struktur usaha tidak bisa lagi dibatasi oleh nasionalitas. Proses produksi akan terdiri dari rangkaian simpul-simpul yang tersebar di berbagai negara. Pemilikan usaha juga akan semakin mengglobal. Bahkan WTO menghendaki dihapuskannya perbedaan antara asing dan domestik dalam perlakuan terhadap investasi dan perdagangan.

Karena itu kita tidak boleh hanyut dan tidak memandang penting lagi hakikat kebangsaan. Bisnis bisa internasional, tetapi setiap orang pada dasarnya tidak bisa melepaskan diri dari ikatan kewarganegaraannya. Oleh karena itu dalam keadaan bagaimanapun pelaku bisnis warga negara Indonesia, tidak boleh kehilangan rasa kebangsaannya dan jatidirinya sebagai orang Indonesia. Ia harus memiliki kepedulian dan komitmen untuk turut menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi bangsanya melalui kiprahnya dalam bisnis. Jiwa patriotik harus selalu menyala di dalam diri insan bisnis Indonesia, betapapun “internasional”nya wawasan dan kegiatan bisnis yang dilakukannya. Ia tetap harus memperhatikan dan mendahulukan kepentingan bangsanya, yaitu bangsa yang telah membesarkan bisnis dan dirinya.

Etika usaha yang didambakan oleh kita semua tentu tidak akan dengan sendirinya dipraktikkan oleh kalangan dunia usaha tanpa adanya suatu “aturan main” yang jelas bagi dunia usaha itu sendiri. Saya sadari bahwa masalah etika adalah normatif. Pada dirinya lebih bersifat subjektif. Yang perlu kita upayakan adalah membangun konsensus nasional. Sumbangan pemikiran saya dalam rangka peresmian Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia jadi suatu keharusan.

Nama : Katherine Fernanda Gunawan
NPM : 11207246
Kelas : 4EA10
Dosen : Ashur Harmadi
Sumber: http://www.ginandjar.com/public/20PeresmianLSPEU.pdf

Rabu, 06 Oktober 2010

Etika Bisnis

Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

(Corporate Social Responsibility/CSR)

Kisah sukses bisnis produsen kosmetik The Body Shop adalah kisah sukses entitas bisnis untuk membangun kepercayaan publik melalui implementasi tanggung jawab sosial perusahaan. Didirikan tahun 1976 di Inggris, The Body Shop kini melayani lebih dari 77 juta pelanggan di 55 negara. Survei yang dilakukan Booth-Harris Trust Monitor (2001) menunjukkan mayoritas konsumen akan meninggalkan suatu produk yang mempunyai citra buruk atau diberitakan negatif.

Pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) berupa kegiatan filantropi dan pengembangan komunitas, umumnya dikemas untuk mengupayakan citra positif alias promosi. Lebih jauh dari sekadar promosi, semakin berkembang pula pandangan bahwa keunggulan bersaing bisa dihasilkan dengan memadukan berbagai pertimbangan sosial dan lingkungan dalam strategi bisnis.

Philip Kotler dan Nancy Kotler dalam Corporate Social Responsibility, Doing the Most Good for Your Company and Your Cause (2005), secara praktis menunjukkan, bagaimana perusahaan memaksimalkan tingkat pengembalian investasi melalui sejumlah kegiatan dan inisiatif sosial yang berdampak positif bagi masyarakat dan lingkungannya. Tetapi, Maria Nindita Radyati, kandidat doktor pada University of Technology Sydney yang sedang mendalami CSR mengingatkan, tujuan akhir pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan adalah menempatkan entitas bisnis dalam upaya pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, tanggung jawab sosial itu seharusnya menginternalisasi pada semua bagian kerja pada suatu pekerjaan.

Pendapat Nindita, CSR itu seharusnya merupakan keputusan strategis perusahaan sejak awal dari mendesain produk yang ramah lingkungan, hingga pemasaran, dan pengolahan limbah. Selain itu, secara eksternal CSR juga memastikan jangan sampai perusahaan justru mengurangi kesejahteraan masyarakat di lingkungan sekitarnya. Artinya, pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan perlu diupayakan di lingkungan internal dan eksternal. Pada lingkungan internal, perusahaan misalnya bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat, memerhatikan kesejahteraan karyawan, serta menjalankan manajemen yang beretika.

Terkait pelaksanaan CSR pada lingkungan eksternal perusahaan, Konosuke Matsushita, pendiri Matsushita Electric, mengemukakan, perusahaan yang mengolah sumber daya alam maupun sumber daya manusia pada hakikatnya adalah milik publik serta bertanggung jawab untuk memberi manfaat pada masyarakat.
Pelaku bisnis membutuhkan dukungan lingkungannya. Oleh karena itu, sikap responsif terhadap kebutuhan lingkungan menjadi keharusan. Selain tuntutan lingkungan yang tertera pada regulasi, tidak bisa diabaikan pula tuntutan lingkungan yang tidak secara langsung disebutkan dalam peraturan publik.

Tergantung pada lingkungan
Meluasnya tuntutan publik serta menguatnya kesadaran pelaku usaha untuk menjalankan CSR, antara lain, tampak pada dibentuknya World Business Council for Suistainable Development (WBCSD).
Sebanyak 180 perusahaan internasional dari 35 negara berkoalisi dalam organisasi itu. Perusahaan-perusahaan ini bergabung dengan komitmen mencapai pembangunan berkelanjutan, melalui pertumbuhan ekonomi, keseimbangan tekologi, dan kemajuan sosial.

Albert Fry yang pernah menjadi salah seorang manajer pada WBCSD menyatakan, pada dasarnya musuh terbesar bagi lingkungan adalah kemiskinan.

Jika pada suatu kawasan yang kaya sumber daya alam, beroperasi perusahaan internasional yang meraup keuntungan besar, tetapi masyarakat di lingkungan sekitarnya didera kemiskinan, tentu terjadi ketidakadilan sosial yang perlu diluruskan. Ironi demikian juga terjadi pada beberapa kawasan kaya sumber daya alam di Indonesia, seperti Papua dan Kalimantan.

Mengutip laporan penelitian terbaru pada Journal Compilation, terbitan Blackwell Publishing, Mei 2006, Nindita menjelaskan, aktivitas CSR di Inggris dinilai jauh lebih maju dibandingkan kegiatan serupa di Amerika Serikat. Inggris memberlakukan aturan yang lebih jelas untuk melakukan pelaporan kegiatan CSR. Tidak demikian halnya dengan Amerika Serikat.

Penelitian itu menunjukkan, kesadaran perusahaan-perusahaan di Inggris untuk melakukan CSR lebih terdorong karena kontrol aktif dari para pemangku kepentingan yakni karyawan, pimpinan manajemen, pemilik perusahaan, konsumen, pemerintah, lembaga nonpemerintah, dan perguruan tinggi.

Para pemegang saham, misalnya, meyakini keunggulan kompetitif untuk berinvestasi pada perusahaan yang aktif menjalankan kegiatan CSR, sedangkan pimpinan manajemen terdorong oleh norma etika bisnis.

Di Indonesia
Bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan-perusahaan di Indonesia?
Kerusakan lingkungan terus-menerus meluas di negeri ini, kemiskinan, dan pengangguran terus bertambah. Kemelut tersebut menjadi tantangan bersama yang harus dijawab pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat.

Ernst & Young meyakini, prinsip-prinsip kewirausahaan yang membuat pelaku usaha mampu mengatasi kerumitan prosedur birokrasi dan berkelit dari tekanan dan tantangan pasar seharusnya dapat diaplikasikan untuk mengatasi masalah-masalah sosial.

Uniknya, sepanjang penyelenggaraan program penghargaan Ernst & Young Entrepreneur of the Year, komitmen terhadap perbaikan lingkungan sosial diidentifikasi sebagai karakter yang menonjol pada pengusaha-pengusaha sukses di berbagai negara.

Oleh karena itu, mulai tahun ini Ernst & Young menambahkan satu kategori dalam program penghargaannya, yakni Social Entrepreneur of the Year. Tentu saja tujuannya untuk mendorong para pengusaha untuk berlomba-lomba dengan komitmen penuh untuk melaksanakan tanggung jawab sosialnya.

Akan tetapi, potensi dunia bisnis untuk menjalankan perubahan sosial melalui pelaksanaan tanggung jawab sosial tidak dapat tercapai optimal jika aturan tidak ditegakkan, bahkan oleh penegak hukum. Kemitraan antara pemerintah, dunia usaha, dan komunitas hanya dapat berjalan jika ada kepercayaan dan sikap keterbukaan.(Nur Hidayati)

Diambil dari: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0609/01/teropong/2921326.htm
Nama : katherine fernanda gunawan
npm : 11207246
kelas : 4ea10
dosen : Ashur Harmadi

Etika Bisnis
Secara sederhana etika bisnis adalah cara-cara melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan masyarakat. Mencakup bagaimana menjalankan bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada kedudukan individu atau perusahaan di masyarakat.

Etika bisnis lebih luas diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali ditemukan wilayah abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.

Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988), memberikan tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :
• Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
• Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
• Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.

Etika bisnis dalam perusahaan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh.

Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.
Pada dasarnya praktek etika bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang, karena :
• Mampu mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi, baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
• Mampu meningkatkan motivasi pekerja.
• Melindungi prinsip kebebasan berniaga
• Mampu meningkatkan keunggulan bersaing.

Tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi dan lain sebagainya. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan.

Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika bisnis, pada umumnya termasuk perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis, misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier.

karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan harus semaksimal mungkin harus mempertahankan karyawannya.
Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni dengan cara :
• Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct)
• Memperkuat sistem pengawasan
• Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus menerus.

Diambil dari: www.asianbrain.com
Nama : Katherine Fernanada Gunawan
NPM : 11207246
Kelas : 4EA10
Dosen : Ashur Harmadi